Misteri Gunung Papandayan

Hari menjelang Maghrib ketika kami menginjakakan kaki di terminal garut. Guntur namanya. Tempat yang sama seperti hari sebelumnya ketika kami menunggu kendaraan menuju Gunung Papandayan dengan di barengi guyuran hujan yang syahdu. Kami tidak tahu bahwa sampainya disana adalah awal nasib kami yang tentu saja sudah dicatatkan oleh Sang Pencipta Langit dan Bumi serta Seluruh Isinya. Sebuah ujian kesabaran.
Dihari sebelumnya, kami melakukan perjalanan yang sudah direncanakan. Mencoba mendaki Gunung Papandayan, bukan untuk menaklukan puncaknya, tapi mengeja kebersamaan. Perjalanan yang masing-masing akan menemukan kisah uniknya sendiri. Walau, tempat yang kita datangi sama.
Mulai dari kumpul di Pasar Rebo, berkali kali dilewatin bus jurusan garut –bukannya gak mau ngangkut, tapi masih menunggu anggota yang belum kumpul–, tragedi adu mulut nya kondektur bus rebutan sewa, sampe akhirnya berangkat menuju tujuan terminal Guntur di Garut. Kebingungan mulai terjadi di terminal. Tidak ada satupun dari kita yang pengalaman dengan kendaraan umum yang mesti kita pakai. Ada orang garut pun tidak jadi solusi. Karena hanya numpang ngaku saja (kali).😀.
Tapi di tengah hujan setelah waktu ashar, solusi itu datang juga. Borong elp yang sedang ngganggur di depan terminal. Sampai akhirnya kita pun sampai di meeteng point dengan sang kepala rombongan (berangkat sendiri dari Bandung) yang memang sudah pernah mendaki Gn. Papandayan.
Naik colt buntung (entah bahasa mana), dijebak untuk mendaftarkan rombongan, walau gak dijebak-jebak amat sih, sampai akhirnya kami mulai melangkahkan kaki mendaki.
Gelapnya malam tersaji indah dengan (hampir) bulat nya bulan menjelang purnama menemani perjalanan kami. Melewati kawah belerang dengan raungan bunyi seperti kompor di bawah kami, bau yang menyengat, dan oksigen yang tipis kami lalui. Tersasar, atau sengaja menyasar kami (sebagian) lewati. Sampai akhirnya tenda untuk tidur pun kami dirikan. Dinginnya udara malam tak membuat suasana hening. Ribut tetep saja, mengganggu tenda-tenda tetangga yang sudah lebih dulu berdiri.
Setelah bangun, sesuai rencana kami mendaki menuju puncak (katanya), melihat matahari terbit (pengennya). Tapi pekatnya malam menahan langkah kami di hutan mati. Tapi hal tersebut justru menjadi romantika tersendiri di subuh hari. Semburat jingga tetap tersaji bagi kami.
Terbitnya matahari menjadikan kami kembali melanjutkan perjalanan, meretas asa menuju puncak papandayan. Hutan mati yang sebelumnya hitam kelam terlihat eksotis dengan datangnya cahaya. Jalur yang sebelumnya tidak terlihat pun kini menjadi lebih jelas kita jejak.
Seberapa lama kami berjalan, sampai pula kami di (bukan) puncak. Sebuah padang edelweiss, Tegal Alun sebutannya. Masih beberapa waktu lagi untuk mencapai puncak. Berbalut rasa syukur kami nikmati pemandangan di sana. Membuka bekal dan lensa kamera. Menjebak pemandangan yang memanjakan mata. Dengan model paling ganteng dan cantik tentu saja.🙂
Lelah, letih, lesu, lupa sudah. Tertawa, bercanda ria, dan bahagia. Target perjalanan (belum) sampai sudah. Alam yang dicipta Sang Penguasa terhampar di sana. Tegal Alun. Penuh pesona yang menggoda.
Perjalanan mendaki gunung bagi saya memang selalu menggoda. Tak cukup sekali, berkali-kali pun tetap saja punya kisah yang berbeda.
Semakin siang, kami pun berhitung waktu. Esok hari harus kembali memikul cangkul. Keputusannya adalah harus turun. Kembali ke tempat tenda didirikan. Bagian dapur segera membuat makanan untuk mengisi perut yang kembali keroncongan. Kenyang dengan makanan, packing pun di lakukan.
***
Ya, kami belum tahu, akan apa yang terjadi, bahkan sedetik di masa depan. Maka dari itu, kami masih sempat berbekal serabi angin. Yang kami tahu, antrian penumpang menuju Jakarta mengular. Beberapa jenak berita simpang siur pun terdengar. Sudah tidak ada bus menuju Jakarta. Tapi koordinasi petugas terminal memastikan akan diusahakan bus untuk mengangkut penumpang. Bus Jakarta-garut silih berganti masuk terminal, tetapi tidak mau mengangkut penumpang. Setelah diskusi dengan peserta yang pulang ke Jakarta, diputuskan untuk mencari alternatif kendaraan untuk pulang.
Di tengah tawar menawar harga angkutan carteran, panggilan itu pun datang. Ternyata ada bus yang masuk terminal dan berhasil dibajak oleh penumpang. Semua kawan kami ada disana, kecuali yang pulang ke bumi parahyangan. Sebagian besar dari kami (tidak) mendapatkan jatah duduk. Akhirnya kami pun pulang ke Jakarta. Tapi siapa sangka? Inilah awal dari misteri itu.
Awal-awal perjalanan di bus, kami seperti biasa membuat ribut. Tebak-tebakan lah, dan hal lainnya. Seperti tidak akan terjadi apa-apa. Kemacetan memang sudah kami alami keluar dari terminal. Tapi siapa sangka, kemacetan berlanjut sampai Jakarta. Bus berjalan seperti keong.
Perjalanan dari menjelang maghrib sampai terminal kampung rambutan pukul 02.30 WIB. Naik gunungnya tidak seberapa, tapi perjalanannya benar-benar mengasah mental dan kesabaran. Rasa syukur di hari sebelumnya di balut rasa sabar perjalanan pulang Garut – Jakarta, ibarat biskuit tim-tam berbalut coklat.
Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik dari setiap perjalanan dan petualangan. “Emang harus kayak gitu”, kalo kata salah seorang teman…. Wallohu a’lam.
Previous
Next Post »